Halaman

Senin, 11 Februari 2013

Pahlawan yang terlupakan


aku duduk termenung di atas sebuah kursi rotan, para petani bergegas hendak pergi kesawah meneruskan pekerjaan kemarin yang belum selesai dan memang tidak akan pernah selesai sais pedati delman pak anwar terentang dan akan segerea menjelajahi kampung mencari sesuap nasi dan aku tetap menunggu, umurku yang telah menginjak 96 tahun membatasi aktivitasku namun tak membunuh semangatku, aku adalah bagian dari kemerdekaan negri ini, lima puluh tahun sudah kemerdekaan di raih namun aku belum merasakan merdeka sepenuhnya, dua luka tembak Nampak masih jelas di bagian dada kanan dan kaki kiriku, luka ini bukti nyata perjuanganku melawan para penjajah. Teman-teman seperjuanganku sudah banyak yang meninggal, nasib mereka tak jauh berbeda denganku, terkucilkan tanpa penghargaan.
Ikhlas menjadi landasan semangatku saat berperang melawan para kompeni, bambu runcing menjadi senjata yang membawaku pada kemenangan, tak pernah kuberharap apa-apa dari perjuangan ini kecuali kemerdekaan, walaupun sejarah tak mencatat namaku namun darah dan keringatku mempunyai tempat yang khusus di bumi pertiwi, kehidupanku tergantung pada hasil bertani, namun sawah yang di hibahkan kepada para pejuang kini habis oleh orang-orang dari keturunan cina mereka membeli dan membangun pabrik, di tengah kesengsaraanku, tak sedikitpun terpikir untuk menjual tanah kepada orang-orang berkulit putih itu, Soekarno melarang masyarakat menjual tanahnya kepada para pendatang, namun hanya sebagian orang yang masih mengindahkannya, kebanyakan orang telah menjual tanah-tanahnya kepada orang asing, mereka membelinya dengan harga yang mahal, harta membuat sebagian orang melupakan petuah Soekarno untuk tidak menjual tanah kepada pendatang, akibatnya sekarang kita rasakan anak cucu kita menjadi jongos di negerininya sendiri.
                Perjuangan ini telah merenggut anak dan istriku, aku hidup sendiri tanpa berpangku tangan kepada orang lain, pemerintah tak sedikitpun memperhatikan kami yang dulu pernah berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini, kami terlupakan begitu saja tak ada uang pensiun atau dana konpensasi yang kami terima, namun  seorang  pemuda mau memperjuangkan pengabdian kami dia menulis artikel tantang para pejuang yang terlupakan, termasuk aku. Sebulan lalu dia berkunjung kerumah dan memintaku untuk menceritakan perjuangan para pahlawan yang terlupakan, kuceritakan semuanya, ku ceritakan pula kematian istri dan anakku yang terkena timah panas para penjajah, semua terasa begitu perih ketika aku tenggelam dalam sejarah kehidupan dan perjuanganku, anakku yang baru berumur dua tahun mati di tengah perjuangan para pahlawan. Istriku harus meregang nyawanya karna sebuah peluru bersarang tepat di dada dan menembus jantungnya, pengorbanan kami bukan hanya tenaga saja namun semangat dan darah juga telah kami korbankan.
Aku masih duduk termenung di atas kursi rotan hingga sinar matahari perlahan menyapaku, tiba-tiba anak muda itu datang lagi, dia mengabarkan bahwa jasa para pejuang yang terlupakan kini akan menjadi sejarah yang tertulis, beberapa kali dia mengatakanku seorang patriot, kami para pejuang yang tersisa katanya akan mendapat kompensasi dan akan lebih di perhatikan.
Terimakasih anak muda walaupun kau tak hidup di jaman kami dan tak pernah memegang bambu runcing ikut berperang namun semangatmu adalah semangat perjuangan, Indonesia kini mengenal kami dunia juga kini mengakui keberadaan kami, lanjutkanlah perjuangan kemerdekaan dengan mengabdikan diri kepada bangsa.



Penulis