aku duduk
termenung di atas sebuah kursi rotan, para petani bergegas hendak pergi kesawah
meneruskan pekerjaan kemarin yang belum selesai dan memang tidak akan pernah
selesai sais pedati delman pak anwar terentang dan akan segerea menjelajahi
kampung mencari sesuap nasi dan aku tetap menunggu, umurku yang telah menginjak
96 tahun membatasi aktivitasku namun tak membunuh semangatku, aku adalah bagian
dari kemerdekaan negri ini, lima puluh tahun sudah kemerdekaan di raih namun
aku belum merasakan merdeka sepenuhnya, dua luka tembak Nampak masih jelas di
bagian dada kanan dan kaki kiriku, luka ini bukti nyata perjuanganku melawan
para penjajah. Teman-teman seperjuanganku sudah banyak yang meninggal, nasib
mereka tak jauh berbeda denganku, terkucilkan tanpa penghargaan.
Ikhlas menjadi
landasan semangatku saat berperang melawan para kompeni, bambu runcing menjadi
senjata yang membawaku pada kemenangan, tak pernah kuberharap apa-apa dari
perjuangan ini kecuali kemerdekaan, walaupun sejarah tak mencatat namaku namun
darah dan keringatku mempunyai tempat yang khusus di bumi pertiwi, kehidupanku
tergantung pada hasil bertani, namun sawah yang di hibahkan kepada para pejuang
kini habis oleh orang-orang dari keturunan cina mereka membeli dan membangun
pabrik, di tengah kesengsaraanku, tak sedikitpun terpikir untuk menjual tanah
kepada orang-orang berkulit putih itu, Soekarno melarang masyarakat menjual
tanahnya kepada para pendatang, namun hanya sebagian orang yang masih
mengindahkannya, kebanyakan orang telah menjual tanah-tanahnya kepada orang
asing, mereka membelinya dengan harga yang mahal, harta membuat sebagian orang
melupakan petuah Soekarno untuk tidak menjual tanah kepada pendatang, akibatnya
sekarang kita rasakan anak cucu kita menjadi jongos di negerininya sendiri.
Perjuangan
ini telah merenggut anak dan istriku, aku hidup sendiri tanpa berpangku tangan
kepada orang lain, pemerintah tak sedikitpun memperhatikan kami yang dulu
pernah berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini, kami terlupakan begitu saja tak
ada uang pensiun atau dana konpensasi yang kami terima, namun seorang
pemuda mau memperjuangkan pengabdian kami dia menulis artikel tantang
para pejuang yang terlupakan, termasuk aku. Sebulan lalu dia berkunjung kerumah
dan memintaku untuk menceritakan perjuangan para pahlawan yang terlupakan,
kuceritakan semuanya, ku ceritakan pula kematian istri dan anakku yang terkena
timah panas para penjajah, semua terasa begitu perih ketika aku tenggelam dalam
sejarah kehidupan dan perjuanganku, anakku yang baru berumur dua tahun mati di
tengah perjuangan para pahlawan. Istriku harus meregang nyawanya karna sebuah
peluru bersarang tepat di dada dan menembus jantungnya, pengorbanan kami bukan
hanya tenaga saja namun semangat dan darah juga telah kami korbankan.
Aku masih
duduk termenung di atas kursi rotan hingga sinar matahari perlahan menyapaku,
tiba-tiba anak muda itu datang lagi, dia mengabarkan bahwa jasa para pejuang
yang terlupakan kini akan menjadi sejarah yang tertulis, beberapa kali dia
mengatakanku seorang patriot, kami para pejuang yang tersisa katanya akan
mendapat kompensasi dan akan lebih di perhatikan.
Terimakasih
anak muda walaupun kau tak hidup di jaman kami dan tak pernah memegang bambu
runcing ikut berperang namun semangatmu adalah semangat perjuangan, Indonesia
kini mengenal kami dunia juga kini mengakui keberadaan kami, lanjutkanlah
perjuangan kemerdekaan dengan mengabdikan diri kepada bangsa.
Penulis